Text
Mangun
Seorang petani tua yang diduga mata-mata NICA, ditangkap dalam persembunyian di sebuah ladang jagung pada suatu hari dingin di tahun 1945-an. Dia diseret dan kemudian disiksa habis-habisan oleh tentara Republik. Tak ada yang membela. Semua yang melihatnya hanya terdiam, diam, dan diam termasuk Y.B. Mangunwijaya yang saat itu menjadi Tentara Pelajar.
Kisah pilu yang diikuti pula oleh serentetan peristiwa lain yang tak kalah dramatis di masa perang kemerdekaan, menjadi katalis bagi perjalanan hidupnya. Mangunwijaya akhirnya memutuskan menjadi seorang imam Katolik setelah pada satu siang bolong, pidato Mayor Isman semakin menguatkan kenyakinannya: rakyat yang menderita adalah pahlawan yang juga harus dikenang.
Sepuluh tahun lebih dia menjadi pastor, arsitek, dan menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi di Jogjakarta. Namun pada tahun kedua belas, wajah si petani tua yang merintih kehausan kembali hadir dalam rupa dan wajah lain. Akhirnya dia mengambil sebuah langkah berani, meninggalkan kegiatan mengajar dan hengkang dari tembok tebal gedung gereja untuk hidup bersama orang-orang di pinggiran Kali Code. Di situ, dia merintis arsitektur bagi kaum papa. Sebuah keputusan yang akhirnya menyeret ke dalam gejolak gairah dan kehidupan politik yang mengancam hidupnya pada tahun-tahun ke depan.
“Tolong dengar ini. Dengar dan sampaikan kepada komandanmu ... Mangunwijaya tidak akan tunduk di bawah kata-kata atau perintah Danramil, Dandim, atau Gubernur sekalipun. Saya hanya tunduk pada semangat kesetiakawanan sosial dan Pancasila!” Setelah itu senyap. Hanya bunyi desau daun di pepohonan asam yang terdengar pada suatu sore berkabut di bulan Juni 1989, saat puluhan tentara mengepung dan akan mengusirnya dari Kedung Ombo.
Siapa sesungguhnya petani tua yang selalu bersuara lirih “haus ... haus....” dan selalu menguatkan langkah dan tekadnya membela kalangan tertindas?
Tidak tersedia versi lain